Pesan untuk Bapak (2)

Desember 25, 2017

Kalau ditanya berapa besar prosentase rasa sayang ke Bapak, saya pasti menjawab kurang dari 10%. Kalau ditanya moment terbaik apa yang pernah dilakukan dengan Bapak, saya pasti menjawab tidak ada. Kalau ditanya, apakah hidupmu lebih indah ketika Bapak ada atau tiada, mungkin lebih parah lagi kalau saya bilang tidak ada.

Ya, punya Bapak yang sangat keras kepala, susah belajar agama, egois, kurang empati, suka pamer harta benda, suka judi, apatis dengan perkembangan pendidikan anak menyebabkan saya sangat antipati dengan Bapak. Begitupun ketika saya memandang laki-laki di luar yang seperti itu. Bahkan pandangan saya pada laki-laki biasa di luar sana dipengaruhi oleh bagaimana saya memandang Bapak saya. Pandangan saya pada laki-laki yang menjadi pasangan saya pun nyaris seperti itu. Ironis.

Saking antipati pada Bapak, saya tidak pernah hormat. Meski pada tahun-tahun terakhir hidupnya, beliau berusaha berubah, tetapi saya masih pada sikap yang sama. Meski beliau di akhir masa hidupnya butuh sandaran karena lelah menanggung beban sebagai kepala rumah tangga, saya tetap tak bergeming. Bahkan justru senang beliau mengeluh karena beliau telah terlambat berusaha berubah. Karena beliau seharusnya berubah jadi ayah yang bertanggungjawab saat telah berani mengambil tanggung jawab saat diucapkannya ijab qobul. Lelah yang dirasakan Bapak tak sebanding dengan Ibu yang selama ini menjadi back up peran Bapak di rumah sebagai kepala rumah tangga justru jauh lebih lelah pun sama sekali tak pernah mengeluh. Begitupun saya memperlakukan laki-laki yang menjadi pasangan saya selama ini, mindset ini dipengaruhi oleh itu. Apa yang saya lakukan, persis seperti yang saya lakukan kepada Bapak saya, meski laki-laki itu adalah laki-laki yang baik, sangat baik. Saya baru menyadari bahwa ekpektasi terhadap dunia luar banyak dipengaruhi dari apa yang pernah diekspektasikan dari internal keluarga. Ketika saya tidak pernah mampu punya ekspektasi baik pada Bapak saya sendiri, rasanya sama persis dengan tipisnya ekspektasi saya pada pasangan, siapapun dia.

Sekian lama saya seperti ditutup mata dan telinga kalau manusia itu pasti ada kurang dan lebihnya. Meski 90% keburukan yang ditampakkan, sisanya mesti adalah 10% kebaikan yang ternyata selama ini sangat saya pungkiri. Begitupun pada memori saya dengan Bapak. Saya memang kecewa Bapak tak pernah berubah seperti yang saya dan keluarga harapkan sehingga saya lupa bahwa 10% kebaikannya adalah hal yang masih perlu dihargai.

Saya lupa bagaimana Bapak selama ini berusaha menekan ego dan powernya ketika menghadapi mertuanya di rumah. Mertua yang jauh lebih dominan di rumah ketimbang beliau. Sekian puluh tahun Bapak mengalah padahal tak semua laki-laki mampu menahan itu untuk meredam konflik.

Bapak tak pernah bisa mengajak keluarganya punya momen yang berkualitas karena mertuanya yang posesif, posesif pada anaknya, posesif pada cucunya. Maklum, Nenek bukan ahli agama, beliau tak pernah mengerti bahwa hukum anak perempuan yang telah menjadi milik laki-laki adalah mutlak sudah menjadi hak laki-laki itu, sudah bukan lagi jadi hak si ibu meski mereka tinggal di atap yang sama.

Saya lupa bagaimana rasanya dihargai oleh Bapak yang pernah memberi saya kado celana warna hijau khaki model laki-laki ukuran 29 di saat saya masih kelas 4 SD ketika saya berhasil meraih peringkat 1 di kelas. Ya, celana itu akhirnya bisa saya pakai sebagaimana mestinya ketika kelas 10 SMA.

Saya lupa bagaimana rasanya Bapak menggandeng tangan saya, mengantar saya ke lokasi lomba tari tradisional Jawa waktu SD. Saya lupa bagaimana rasanya Bapak membanggakan bakat saya waktu itu di depan teman-temannya meski saya hanya mampu meraih juara 2 akibat dari kandidat juara 1 menang karena parasnya yang lebih ayu saat itu.

Saya lupa rasanya Bapak sebulan penuh mengajari saya mengendarai motor setiap akhir pekan. Hingga kini saya bisa kemanapun dengan kendaraan motor karena beliau yang mengajari saya. Bahkan saking kelewat mampunya, kemampuan ini bisa membawa saya pulang pergi Jogja - Blora 6 jam dengan aman.

Saya lupa rasanya Bapak pernah mendorong saya untuk khatam Al Quran ketika masih kecil meskipun beliau sendiri antipati pada agama. Saya lupa rasanya beliau pernah bangga anak-anaknya menyelesaikan membaca Al Quran, khatam untuk pertama kalinya.

Saya lupa beliau bangga anak-anaknya konsisten puasa Sunnah Senin-Kamis kala itu meski beliau tak pernah puasa Ramadhan, tak pernah sholat, bahkan beliau jauh lebih percaya jimat ketimbang Tuhan manapun.

Saya lupa beliau pernah berpesan pada anaknya untuk terus berusaha, mandiri, berusaha menyelesaikan masalah sendiri agar tak merepotkan orang lain.

Saya lupa ketika saya mendengar cerita sewaktu di ICU, beliau pernah mencium pipi Ibu sambil berbisik, "Maaf. Sebenernya aku pengen sholat, tapi gimana kalo udah terlanjur ngga bisa bangun begini."

Mau bagaimanapun, usaha saya untuk menyadarkan Bapak selama ini dikabulkan Gusti di detik-detik terakhir hidupnya. Mau bagaimanapun, Bapak hanya manusia yang hatinya adalah kuasa penuh Gusti, bukan manusia itu sendiri. Saya baru sadar, kunci hatinya pun bukan manusia, bukan istrinya, anak-anaknya yang pegang. Kunci hati manusia manapun tetap ada di tangan Gusti. Ketika Gusti ngga menghendaki terbuka, mau usaha sekeras apapun pintu itu tetap terkunci rapat. Saya baru sadar, istri, anak-anak bukan kuncinya. Kami dikirim satu sama lain hanya untuk mendampingi satu dan lainnya. Perkara ibadah, kepercayaan pada Gusti, itu urusan mutlak manusia dan Tuhannya. Kami hanya perantara Gusti untuk saling mengingatkan, meluruskan. Bukan kami penentu hasilnya. Tetap Gusti yang punya otoritas penuh, bukan dari tangan kami yang menentukan Bapak akan masuk surga atau neraka. Bukan dari tangan kami yang menentukan nasib akan berakhir seperti apa.

Meski 90% keburukan yang ditampakkan, manusia tetap ada baiknya. Meskipun 90% dia buruk, dia tetap berhak mendapatkan perlakuan yang baik. Meski sudah dinasihati tapi tetap seperti itu, seyogyanya tetap harus diperlakukan dengan baik. Meski pernah mengecewakan, saya tetap wajib memperlakukan yang terbaik semampu saya karena masih ada 10% kebaikan yang pernah ditinggalkan. Meski sering mengecewakan, saya wajib memaafkan, berdamai dengan masa lalu demi masa depan yang lebih mendamaikan. Cheers.

You Might Also Like

2 komentar

Like us on Facebook