Anak X Mesin

Desember 10, 2017



Sebagai manusia biasa, siapa yang nggak mendambakan kehidupan yang sangat ideal dunia akhirat. Mulai dari pendidikan terbaik, pekerjaan terbaik, kehidupan percintaan terbaik, kehidupan terbaik untuk anak-anak sebagai generasi masa depan. Berhubung saya manusia biasa juga, saya juga begitu.

Makin ke depan tuntutan hidup di dunia makin banyak ya. Sebagai calon ibu entah berapa tahun nanti saya juga udah berat mikir nyiapin segala sesuatu yang terbaik untuk keluarga terutama anak-anak saya nanti. Makin ke depan tuntutan hidup di dunia cenderung makin tinggi untuk memenuhi standar kebutuhan materi. Tantangannya makin besar, persaingan makin ketat untuk memenuhi kebutuhan materi itu dimana sumber materi aja terbatas. Ibaratnya gini, di gambaran saya saat ini tujuan orang-orang berkarya adalah mostly untuk earn money, membangun aset produktif, memiliki tabungan. Sedangkan money yang disediakan di dunia tentu jumlahnya terbatas. Itulah kenapa persaingan semakin ketat karena semua karya, semua pekerjaan orientasinya adalah untuk uang yang terbatas itu. Orang rela berangkat pagi pulang malam. Orang rela ga pernah pulang nengok orang tua karena hemat. Orang rela ga pernah makan siang demi tabungan rumah tercapai (ini serius lho ada). Dari situ udah keliatan banget untuk memenuhi kebutuhan hidup yang katanya serba mahal, orang rela mengorbankan apapun demi meraihnya.

Dari sisi saya, uang memang penting tapi ga trus selamanya kebahagiaan itu patokannya dari uang, kepemilikan harta, kemampuan membeli sesuatu, punya harta lebih banyak dari temennya wkwkwk. Tapi, jeleknya nilai itu ga pernah saya dapetin sejak kecil. Miris sih. Saya tau hal ini justru ketika sudah dewasa dan ngga bisa mengulang proses-proses yang mengarah ke nilai itu.

Saya tumbuh di bawah asuhan orang tua yang sangat percaya pada institusi pendidikan yang mampu mendidik SDM dengan sangat baik tanpa ada campur tangan dari orang tua di rumah. Institusi pendidikan dengan kurikulum yang sudah diatur negara adalah bentuk pendidikan ke anak yang sudah luar biasa baik di kala itu tahun 1990an. Mindset orang tua saya saat itu adalah ketika orang tua sudah menginvestasi dana pendidikan dengan jumlah tertentu, harapan mereka akan anak yang mampu belajar mandiri, kelak bisa cari duit sendiri bahkan cari duitnya bisa lebih banyak dari orang tuanya bisa tercapai.

Yang bikin saya ironis adalah patokan orang tua dalam investasi pendidikan bukan bertujuan agar memanusiakan anak, tapi gimana caranya menempa anak untuk kelak bisa earning money lebih banyak dan lebih banyak dibanding orang tuanya. Yang bikin saya ironis lagi, ternyata ga cuman saya yang ngalamin hal kayak gini. Beberapa temen, pasangannya temen, adiknya temen, intinya ternyata banyak keluarga yang menerapkan hal itu. Ketika anak di masa dewasanya bisa kerja di perusahaan yang bonafide, punya karya di bidang yang menghasilkan uang banyak di eranya, jabatan tinggi adalah bentuk kesuksesan yang membanggakan bagi orang tua jaman now. Pada akhirnya, standar kebahagiaan bergeser ke arah sana.

Beberapa saat yang lalu saya mulai mikir, ketika patokan kebahagiaan adalah kepemilikan uang, yang ada Tuhan sekarang wujudnya dalam bentuk uang dong. Belajar, bekerja tidak lagi niatnya karena ibadah, mengabdi pada sesama manusia, tapi yang saya rasakan adalah untuk memenuhi kantong semata. Alasan memenuhi kantong adalah agar pendidikan anak ke depan yang biayanya tinggi, dapat terpenuhi. Biaya pendidikan yang tinggi masih saya asumsikan dengan mendidik anak untuk mengejar uang untuk pribadi, bukan untuk mengejar kesetaraan kesejahteraan antar manusia yang harapan saya tidak ada kesenjangan sosial yang gapnya sangat tinggi. Ya, anak dididik untuk mendapat nilai, no matter what proses yang harus dikejar, no matter what hasilnya nanti apakah akan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara pribadi maupun untuk sosial.

Anak yang seyogyanya dididik untuk jadi manusia, ujung-ujungnya malah dididik seperti mesin. Lulus harus cepat dengan masa sekian tahun, mencari pekerjaan dengan gaji sekian juta karena investasi biaya pendidikan yang sekian juta. Belum lagi kalo selama masa studi kalo bisa sambil kerja untuk ngepress biaya pendidikan. Ibarat mesin, kalo bahan bakar bisa lebih murah tentu akan lebih menguntungkan dong. Efek lain yang ditimbulkan adalah tuntutan yang kadang ngga irasional bagi anak menjadi penyebab stress dan tekanan bagi anak. Saya pun mengalaminya. Ada beban tersendiri bahwa di usia sekian sekian harus punya A, B, C sesuai pada standar yang entah tiba-tiba ditentukan oleh masyarakat. Jika tidak tercapai, tekanan akan dialami oleh orang tua dan anak karena tidak mampu meraih standar yang ditentukan masyarakat itu.

Di era jaman now yang apa-apa dikonversikan ke uang, saya jadi punya pandangan yang berbeda bahwa anak berhak memperoleh kebahagiaan dengan cara masing-masing. Anak berhak mencapai apa yang diimpikan terlepas apakah impiannya itu merupakan lahan uang ataupun bukan. Saya lebih senang dengan pendidikan yang ditanamkan kepada anak agar bisa jadi manusia yang memanusiakan orang lain tanpa memandang atau mengkonversikan apapun menjadi uang. Sibuk karena uang bukan jaminan ketika memilikinya lalu kemudian bahagia. Sibuk karena mengejar yang disebut dengan standard kebahagiaan masyarakat pun tidak selamanya menjamin kebahagiaan karena standar kebahagiaan tiap person pasti berbeda tergantung dari setinggi apa level person tersebut memaknai syukur dalam kehidupannya. Semoga saya segera dapet kesempatan survey ke sekolah yang basis pendidikannya dapat memenuhi kebutuhan saya ke depan dengan biaya yang manusiawi pula.

PS : Curhatan anak gadis 25 tahun

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook