Kalau ditanya berapa besar prosentase rasa sayang ke Bapak, saya pasti menjawab kurang dari 10%. Kalau ditanya moment terbaik apa yang pernah dilakukan dengan Bapak, saya pasti menjawab tidak ada. Kalau ditanya, apakah hidupmu lebih indah ketika Bapak ada atau tiada, mungkin lebih parah lagi kalau saya bilang tidak ada.
Ya, punya Bapak yang sangat keras kepala, susah belajar agama, egois, kurang empati, suka pamer harta benda, suka judi, apatis dengan perkembangan pendidikan anak menyebabkan saya sangat antipati dengan Bapak. Begitupun ketika saya memandang laki-laki di luar yang seperti itu. Bahkan pandangan saya pada laki-laki biasa di luar sana dipengaruhi oleh bagaimana saya memandang Bapak saya. Pandangan saya pada laki-laki yang menjadi pasangan saya pun nyaris seperti itu. Ironis.
Saking antipati pada Bapak, saya tidak pernah hormat. Meski pada tahun-tahun terakhir hidupnya, beliau berusaha berubah, tetapi saya masih pada sikap yang sama. Meski beliau di akhir masa hidupnya butuh sandaran karena lelah menanggung beban sebagai kepala rumah tangga, saya tetap tak bergeming. Bahkan justru senang beliau mengeluh karena beliau telah terlambat berusaha berubah. Karena beliau seharusnya berubah jadi ayah yang bertanggungjawab saat telah berani mengambil tanggung jawab saat diucapkannya ijab qobul. Lelah yang dirasakan Bapak tak sebanding dengan Ibu yang selama ini menjadi back up peran Bapak di rumah sebagai kepala rumah tangga justru jauh lebih lelah pun sama sekali tak pernah mengeluh. Begitupun saya memperlakukan laki-laki yang menjadi pasangan saya selama ini, mindset ini dipengaruhi oleh itu. Apa yang saya lakukan, persis seperti yang saya lakukan kepada Bapak saya, meski laki-laki itu adalah laki-laki yang baik, sangat baik. Saya baru menyadari bahwa ekpektasi terhadap dunia luar banyak dipengaruhi dari apa yang pernah diekspektasikan dari internal keluarga. Ketika saya tidak pernah mampu punya ekspektasi baik pada Bapak saya sendiri, rasanya sama persis dengan tipisnya ekspektasi saya pada pasangan, siapapun dia.
Sekian lama saya seperti ditutup mata dan telinga kalau manusia itu pasti ada kurang dan lebihnya. Meski 90% keburukan yang ditampakkan, sisanya mesti adalah 10% kebaikan yang ternyata selama ini sangat saya pungkiri. Begitupun pada memori saya dengan Bapak. Saya memang kecewa Bapak tak pernah berubah seperti yang saya dan keluarga harapkan sehingga saya lupa bahwa 10% kebaikannya adalah hal yang masih perlu dihargai.
Saya lupa bagaimana Bapak selama ini berusaha menekan ego dan powernya ketika menghadapi mertuanya di rumah. Mertua yang jauh lebih dominan di rumah ketimbang beliau. Sekian puluh tahun Bapak mengalah padahal tak semua laki-laki mampu menahan itu untuk meredam konflik.
Bapak tak pernah bisa mengajak keluarganya punya momen yang berkualitas karena mertuanya yang posesif, posesif pada anaknya, posesif pada cucunya. Maklum, Nenek bukan ahli agama, beliau tak pernah mengerti bahwa hukum anak perempuan yang telah menjadi milik laki-laki adalah mutlak sudah menjadi hak laki-laki itu, sudah bukan lagi jadi hak si ibu meski mereka tinggal di atap yang sama.
Saya lupa bagaimana rasanya dihargai oleh Bapak yang pernah memberi saya kado celana warna hijau khaki model laki-laki ukuran 29 di saat saya masih kelas 4 SD ketika saya berhasil meraih peringkat 1 di kelas. Ya, celana itu akhirnya bisa saya pakai sebagaimana mestinya ketika kelas 10 SMA.
Saya lupa bagaimana rasanya Bapak menggandeng tangan saya, mengantar saya ke lokasi lomba tari tradisional Jawa waktu SD. Saya lupa bagaimana rasanya Bapak membanggakan bakat saya waktu itu di depan teman-temannya meski saya hanya mampu meraih juara 2 akibat dari kandidat juara 1 menang karena parasnya yang lebih ayu saat itu.
Saya lupa rasanya Bapak sebulan penuh mengajari saya mengendarai motor setiap akhir pekan. Hingga kini saya bisa kemanapun dengan kendaraan motor karena beliau yang mengajari saya. Bahkan saking kelewat mampunya, kemampuan ini bisa membawa saya pulang pergi Jogja - Blora 6 jam dengan aman.
Saya lupa rasanya Bapak pernah mendorong saya untuk khatam Al Quran ketika masih kecil meskipun beliau sendiri antipati pada agama. Saya lupa rasanya beliau pernah bangga anak-anaknya menyelesaikan membaca Al Quran, khatam untuk pertama kalinya.
Saya lupa beliau bangga anak-anaknya konsisten puasa Sunnah Senin-Kamis kala itu meski beliau tak pernah puasa Ramadhan, tak pernah sholat, bahkan beliau jauh lebih percaya jimat ketimbang Tuhan manapun.
Saya lupa beliau pernah berpesan pada anaknya untuk terus berusaha, mandiri, berusaha menyelesaikan masalah sendiri agar tak merepotkan orang lain.
Saya lupa ketika saya mendengar cerita sewaktu di ICU, beliau pernah mencium pipi Ibu sambil berbisik, "Maaf. Sebenernya aku pengen sholat, tapi gimana kalo udah terlanjur ngga bisa bangun begini."
Mau bagaimanapun, usaha saya untuk menyadarkan Bapak selama ini dikabulkan Gusti di detik-detik terakhir hidupnya. Mau bagaimanapun, Bapak hanya manusia yang hatinya adalah kuasa penuh Gusti, bukan manusia itu sendiri. Saya baru sadar, kunci hatinya pun bukan manusia, bukan istrinya, anak-anaknya yang pegang. Kunci hati manusia manapun tetap ada di tangan Gusti. Ketika Gusti ngga menghendaki terbuka, mau usaha sekeras apapun pintu itu tetap terkunci rapat. Saya baru sadar, istri, anak-anak bukan kuncinya. Kami dikirim satu sama lain hanya untuk mendampingi satu dan lainnya. Perkara ibadah, kepercayaan pada Gusti, itu urusan mutlak manusia dan Tuhannya. Kami hanya perantara Gusti untuk saling mengingatkan, meluruskan. Bukan kami penentu hasilnya. Tetap Gusti yang punya otoritas penuh, bukan dari tangan kami yang menentukan Bapak akan masuk surga atau neraka. Bukan dari tangan kami yang menentukan nasib akan berakhir seperti apa.
Meski 90% keburukan yang ditampakkan, manusia tetap ada baiknya. Meskipun 90% dia buruk, dia tetap berhak mendapatkan perlakuan yang baik. Meski sudah dinasihati tapi tetap seperti itu, seyogyanya tetap harus diperlakukan dengan baik. Meski pernah mengecewakan, saya tetap wajib memperlakukan yang terbaik semampu saya karena masih ada 10% kebaikan yang pernah ditinggalkan. Meski sering mengecewakan, saya wajib memaafkan, berdamai dengan masa lalu demi masa depan yang lebih mendamaikan. Cheers.
Selamat merayakan hari ibu wahai wanita se-Indonesia. Selamat merayakan hari ibu juga buat semua wanita mulai dari ibu rumah tangga, ibu berkarier, ibu guru, ibu perawat, ibu segala profesi di Indonesia.
Kemarin di timeline lagi hitz banget pada posting hari ibu, saya justru terpaku pada postingan ulama yang adem ini. Saya tiba-tiba jadi inget peran-peran ibu di keluarganya. Di bayangan saya sosok ibu yang sangat dihargai, pantas diselamati setiap tanggal 22 Desember adalah sosok-sosok ibu yang memperjuangkan idealisme masing-masing untuk jadi pengayom dalam rumah tangga, pendidik bagi anak-anaknya, pendukung setia suaminya, serta support system terbaik di tim kerja jika memang merangkap sebagai wanita karier. Penghargaan yang besar patut diberikan pada golongan wanita seperti itu karena mereka lah cerminan pejuang-pejuang wanita yang di tahun 1928 memperjuangkan pergerakan demi kemerdekaan Indonesia.
Kemarin di timeline lagi hitz banget pada posting hari ibu, saya justru terpaku pada postingan ulama yang adem ini. Saya tiba-tiba jadi inget peran-peran ibu di keluarganya. Di bayangan saya sosok ibu yang sangat dihargai, pantas diselamati setiap tanggal 22 Desember adalah sosok-sosok ibu yang memperjuangkan idealisme masing-masing untuk jadi pengayom dalam rumah tangga, pendidik bagi anak-anaknya, pendukung setia suaminya, serta support system terbaik di tim kerja jika memang merangkap sebagai wanita karier. Penghargaan yang besar patut diberikan pada golongan wanita seperti itu karena mereka lah cerminan pejuang-pejuang wanita yang di tahun 1928 memperjuangkan pergerakan demi kemerdekaan Indonesia.
Golongan wanita yang satu ini sering terlupa dalam benak pikiran, dikucilkan, dipinggirkan, dianggap sampah masyarakat dan tentu dilecehkan tidak hanya di mata laki-laki, juga di mata wanita. Di pikiran banyak orang, mereka bukan cerminan pejuang wanita tahun 1928 seperti yang saya sebutkan tadi. Kalau mereka selama ini dilecehkan, kenapa mendadak jadi kontradiksi dengan pesan dari Gus Mus? Apa iya mereka dikecualikan sebagai golongan ibumu, ibu kita.
Beberapa waktu yang lalu saya sedang senang-senangnya mengikuti kampanye #16daysofactivism yang digagas United Nations lewat tokoh-tokoh kenamaan di berbagai negara. Kalau di Indonesia, Hannah Al Rashid dipilih untuk mengkampanyekan isu kesetaraan gender dan anti kekerasan pada wanita. Komika Ernest Prakarsa dan istrinya, Meira Anastasia diajak oleh Hannah untuk berpartisipasi dengan memberikan gambaran tentang perspektif kesetaraan gender dalam mendidik anak.
Di video itu Meira bilang kalau kekerasan dalam bentuk apapun baik itu fisik maupun verbal kalau di-trace balik pasti berawal dari kebiasaan-kebiasaan yang ada di keluarga. Apa yang ada di keluarga akan direfleksikan ke lingkungan ketika anak dewasa tanpa disadari. Kalau memang mau menciptakan generasi yang unggul ga sekedar dari pendidikan di luar keluarga tapi justru diawali dari keluarga. Caranya dengan mengajarkan anak laki-laki menghargai anak perempuan, serta menanamkan anak perempuan berhak mendapatkan akses yang setara dengan anak laki-laki supaya mereka percaya diri.
Laki-laki secara patriarki memang diajarkan untuk jadi super di keluarga baik itu secara fisik maupun secara mental. Kekeliruan yang diwariskan dari generasi ke generasi adalah bahwa laki-laki itu harus unggul dalam mengambil keputusan, kuat secara kekuasaan di dalam keluarga, lebih superior dibanding wanita di dalam keluarga. Bahkan, secara ga disadari kadang hal-hal itu bisa berlebih dan ga seimbang.
Kekerasan juga saya alami sejak kecil oleh Bapak sendiri. Berkaitan dengan kesetaraan gender itu, saya tidak pernah merasakan ada kesetaraan yang imbang di keluarga. Kalau Mamak Meira bilang kekerasan di luar selalu diawali dari kekerasan di dalam rumah tangga. It truly happens. Akibat yang ditimbulkan sangat beragam dan ya jujur saja Mamak Meira betul bahwa kekerasan menimbulkan efek domino ke berbagai aspek kehidupan.
Sejak kecil, Bapak superior dalam mengatur keluarga. Di mata beliau, segala keputusan yang beliau ambil itu selalu benar dan terbaik tanpa melibatkan pendapat dari anak-anaknya. Ibu, sebagai wanita tentu ditakdirkan untuk mengikuti jejak suami sebagai imamnya. Perkara benar atau salah, itu urusan belakang. Berhubung Bapak adalah 'imam', ya beliau lah pengambil keputusan tanpa mempertimbangkan secara jauh dampak positif dan negatif yang ditimbulkan.
Bapak saya gila materi dan gila judi sejak muda. Kebiasaan ini tidak pernah berubah bahkan sampai setelah menikah dan punya anak bahkan hingga 2 tahun sebelum ajal menjemput. Karena Bapak terlalu superior, bagi dia harta yang sudah didapatkannya dari bekerja, dia berhak untuk memakai sesuka hati. Beruntungnya Ibu saya pun bekerja. Gaji Ibu saya habis hanya untuk membayar hutang hasil judi ayah saya. Gaji Ibu saya harus dibagi-bagi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan 2 anaknya dan Ibu saya dengan relanya menyisihkan tabungan untuk Bapak saya lanjut sekolah lagi. Upaya Ibu untuk membagi-bagi sesuai kebutuhan ini bahkan terjadi hingga saya kuliah. Dua puluh tahun hal ini terjadi.
Hingga kini saya meneladani Ibu saya untuk bekerja karena kekhawatiran saya terlalu besar jika di kemudian hari saya mendapat jodoh seperti itu. Pernah ingat kan pepatah bilang bahwa anak perempuan akan jatuh hati pada laki-laki yang setidaknya sama dengan bapaknya. Saya terlalu percaya dengan pepatah itu. Sampai suatu hari saya cerita ke mantan ketua project saya bahwa saya sedang ingin menabung untuk biaya menikah. Beliau bilang wanita tidak perlu menabung. Biar laki-laki yang menjadikan hal itu sebagai tanggungjawabnya. Beda keluarga, beda pendidikan. Beda keluarga, beda sosok yang jadi teladan. Mungkin bagi beliau itu nilai yang dianutnya. Tapi saya ngga bisa menganut nilai itu dengan pengalaman yang saya terima sejak kecil. Saya kurang percaya pada laki-laki bisa bertanggungjawab seperti halnya saya ngga bisa percaya dengan Bapak saya. Saya takut jatuh hati pada laki-laki yang sama dengan Bapak saya. Itulah mengapa saya berusaha untuk berdiri sendiri tanpa harus bergantung pada laki-laki karena saking kecewanya dengan Bapak saya.
Bapak ngga pernah mendidik anak di rumah. Berhubung Bapak saya ngga disiplin pada dirinya sendiri, ngga ada yang dijadikan teladan di keluarga kami. Bapak ngga pernah menghargai usaha Ibu dalam memasak. Bapak lebih memilih makan di warung tempat ia judi. Hal ini bisa ngajarin anak di kemudian hari untuk ga ngehargain usaha2 orang di sekitar kan. Kalau dalam usaha teamwork, ini bisa ga baik buat anggota tim. Sebagai anggota tim harus bisa saling menghargai anggota tim yang lain agar harmonis. Sebagai anggota tim, kita ga boleh fokus pada kesalahan atau kekurangan tim. Tapi kita harus fokus mencari solusi dari masalah atau ketidaknyamanan yang ada.
Nilai ini justru ga pernah saya dapet di dalam keluarga. Justru saya dapetin nilai-nilai ini ketika kerja di tim yang ketuanya adalah wanita. She is really my role model. Asistennya adalah laki-laki yang bagi saya juga role model karena ga pernah merasa superior untuk mengatur bawahan-bawahannya. Beliau selalu mendengar keluhan dan solutif bagi bawahan-bawahannya. Pahitnya, hal-hal positif ini sulit saya terapkan di hubungan personal dengan pasangan saking saya trauma dan takut memiliki hubungan personal dengan orang yang salah atau seenggaknya karena dia ga jauh berbeda dengan Bapak saya.
Saking saya merasa tertekan memiliki Bapak yang ngga bertanggungjawab, sejak remaja saya tumbuh jadi pribadi yang overthink terutama pada masa depan. Aspek finansial, personal sangat saya khawatirkan. Sejak SMA, saya terlalu berusaha keras bisa unggul di akademik dengan tujuan agar kelak bisa kuliah di perguruan tinggi yang baik, kemudian lulus bisa bekerja untuk melunasi kepedihan Ibu atas perlakuan Bapak. Tapi, saya ngga bisa melakoni dengan santai like live present, not future.
Kemudian saya berhasil masuk ke perguruan tinggi yang katanya diidamkan banyak orang. Saya minta ke Bapak saya untuk membayarkan uang SPP saya ke depan sebagai bentuk tanggung jawabnya. Di tengah jalan, saya kecewa karena lagi-lagi bukan Bapak yang bertanggungjawab atas anaknya, melainkan Ibu. Bapak tetap melanggengkan judinya. Saya kecewa bukan main. Saya ga pernah enjoy menikmati masa kuliah. Semasa kuliah, saya cuma bisa aktif belajar, praktikum demi nilai bagus supaya saya segera dapat beasiswa dan tidak merepotkan Ibu. Di waktu senggang saya memberi kursus anak SD semampu saya untuk menambah uang saku. Saya ga punya banyak temen deket saking fokus dengan kekurangan saya itu hingga akhirnya saya beruntung bisa dapat beasiswa di hampir 3 tahun masa kuliah.
Sempet pacaran buat menikmati masa muda? Jawabnya tidak sama sekali. Saya terlalu overthink pada kemampuan saya untuk bisa membahagiakan Ibu. Saya pun jadi sulit percaya pada laki-laki saking traumanya dengan Bapak. Saya sulit percaya pada laki-laki untuk bisa komitmen, memegang teguh janjinya, bertanggungjawab pada perempuannya. Saya overthink kemudian melampiaskan ke kesibukan kuliah, praktikum, asisten praktikum kala itu. Hal ini ternyata selalu berulang-ulang.
Bahkan hingga sekarang, ketika saya overthink untuk urusan finansial, saya bisa dengan mudah tenggelam dalam kesibukan bekerja. Ketika saya overthink pada laki-laki, saya memilih untuk pergi dengan teman yang notabene mereka tidak pernah saya harapkan selalu adadi hidup saya. Ya, ketika teman ngga pernah memprioritaskan saya, maka saya cari teman yang lain. Semudah itu untuk mengalihkan perhatian saya tentang khawatir pada jodoh. Khawatir saya selalu kecewa seperti halnya saya menghadapi Bapak saya. Ketika saya overthink pada apapun, saya akan memilih tinggal di kos, merenung, diam, mengasingkan diri di kala weekend. Untuk hal-hal ini saya tidak pernah terbuka dengan siapapun. Bagi saya, luka saya hanya saya yang boleh menikmati, ngga pantas saya bagi dengan pasangan yang ga tau apa-apa sebelumnya.
Sampai sekarang saya sulit untuk terbuka pada laki-laki. Karena sejak kecil saya tidak terbiasa berinteraksi dengan Bapak saya. Saya terlalu terbiasa mengandalkan diri saya sendiri. Bapak saya terlalu biasa untuk tidak mempedulikan saya sehingga saya terkesan ngga butuh perhatian dari laki-laki. Kalau teman-teman saya bilang saya seperti ngga butuh laki-laki, itu karena latar belakang saya ngga pernah percaya dengan Bapak saya. Mau laki-laki itu sebaik apapun tetaplah manusia yang punya salah, bagi saya mereka salah sedikit pun langsung membuat saya flashback ke masa lalu, overthink, lalu menghindar dari laki-laki. Mau sebertanggungjawab dan sesabar apapun, laki-laki pasti ngga mau diperlakukan begitu kan.
Saya sepenuhnya salah karena mindset seperti itu akan sangat ngga baik bagi diri saya secara mental dan kesehatan fisik. Saya harus mau berubah, belajar menerima masa lalu, belajar memaafkan Bapak, belajar melupakan kekhawatiran saya atas masa depan, belajar sedikit demi sedikit berbagi beban dengan siapapun. Mungkin prosesnya butuh waktu, tapi saya harap saya bisa sembuh dalam waktu yang cepat.
Pesan saya bagi bapak bapak di luar sana. Harapan anak perempuan terhadap bapaknya adalah awal dari dia bisa berharap pada dunia, pada pasangannya kelak. Bapak boleh menjadi tidak sempurna karena kita manusia biasa, tapi sebagai bapak, cobalah penuhi harapan anak di luar dari sekedar memenuhi secara materi semampunya. Berusahalah dekat dengan anak karena itu modal bagi anak menghadapi dunianya nanti. Dekat dengan anak karena itu modal Anda didoakan dalam tiap sujudnya. Berlaku baik pada istri adalah modal Anda mengajarkan pada anak untuk dapat memperlakukan orang lain, bekerjasama di masa depannya, punya relasi personal yang baik di masa depannya. Mendidik anak berkarakter bukan tanggung jawab guru di sekolah Pak, ini tanggung jawab Anda dan istri yang harus dipikul bersama.
Bagi teman-teman yang overthink, anxiety disorder, kalian ngga sendiri. Di luar ada banyak survivor yang berusaha untuk sembuh. Mari memaafkan masa lalu bersama demi masa depan yang lebih baik. We stand together. :) Hugs.
Sebagai manusia biasa, siapa yang nggak mendambakan kehidupan yang sangat ideal dunia akhirat. Mulai dari pendidikan terbaik, pekerjaan terbaik, kehidupan percintaan terbaik, kehidupan terbaik untuk anak-anak sebagai generasi masa depan. Berhubung saya manusia biasa juga, saya juga begitu.
Makin ke depan tuntutan hidup di dunia makin banyak ya. Sebagai calon ibu entah berapa tahun nanti saya juga udah berat mikir nyiapin segala sesuatu yang terbaik untuk keluarga terutama anak-anak saya nanti. Makin ke depan tuntutan hidup di dunia cenderung makin tinggi untuk memenuhi standar kebutuhan materi. Tantangannya makin besar, persaingan makin ketat untuk memenuhi kebutuhan materi itu dimana sumber materi aja terbatas. Ibaratnya gini, di gambaran saya saat ini tujuan orang-orang berkarya adalah mostly untuk earn money, membangun aset produktif, memiliki tabungan. Sedangkan money yang disediakan di dunia tentu jumlahnya terbatas. Itulah kenapa persaingan semakin ketat karena semua karya, semua pekerjaan orientasinya adalah untuk uang yang terbatas itu. Orang rela berangkat pagi pulang malam. Orang rela ga pernah pulang nengok orang tua karena hemat. Orang rela ga pernah makan siang demi tabungan rumah tercapai (ini serius lho ada). Dari situ udah keliatan banget untuk memenuhi kebutuhan hidup yang katanya serba mahal, orang rela mengorbankan apapun demi meraihnya.
Dari sisi saya, uang memang penting tapi ga trus selamanya kebahagiaan itu patokannya dari uang, kepemilikan harta, kemampuan membeli sesuatu, punya harta lebih banyak dari temennya wkwkwk. Tapi, jeleknya nilai itu ga pernah saya dapetin sejak kecil. Miris sih. Saya tau hal ini justru ketika sudah dewasa dan ngga bisa mengulang proses-proses yang mengarah ke nilai itu.
Saya tumbuh di bawah asuhan orang tua yang sangat percaya pada institusi pendidikan yang mampu mendidik SDM dengan sangat baik tanpa ada campur tangan dari orang tua di rumah. Institusi pendidikan dengan kurikulum yang sudah diatur negara adalah bentuk pendidikan ke anak yang sudah luar biasa baik di kala itu tahun 1990an. Mindset orang tua saya saat itu adalah ketika orang tua sudah menginvestasi dana pendidikan dengan jumlah tertentu, harapan mereka akan anak yang mampu belajar mandiri, kelak bisa cari duit sendiri bahkan cari duitnya bisa lebih banyak dari orang tuanya bisa tercapai.
Yang bikin saya ironis adalah patokan orang tua dalam investasi pendidikan bukan bertujuan agar memanusiakan anak, tapi gimana caranya menempa anak untuk kelak bisa earning money lebih banyak dan lebih banyak dibanding orang tuanya. Yang bikin saya ironis lagi, ternyata ga cuman saya yang ngalamin hal kayak gini. Beberapa temen, pasangannya temen, adiknya temen, intinya ternyata banyak keluarga yang menerapkan hal itu. Ketika anak di masa dewasanya bisa kerja di perusahaan yang bonafide, punya karya di bidang yang menghasilkan uang banyak di eranya, jabatan tinggi adalah bentuk kesuksesan yang membanggakan bagi orang tua jaman now. Pada akhirnya, standar kebahagiaan bergeser ke arah sana.
Beberapa saat yang lalu saya mulai mikir, ketika patokan kebahagiaan adalah kepemilikan uang, yang ada Tuhan sekarang wujudnya dalam bentuk uang dong. Belajar, bekerja tidak lagi niatnya karena ibadah, mengabdi pada sesama manusia, tapi yang saya rasakan adalah untuk memenuhi kantong semata. Alasan memenuhi kantong adalah agar pendidikan anak ke depan yang biayanya tinggi, dapat terpenuhi. Biaya pendidikan yang tinggi masih saya asumsikan dengan mendidik anak untuk mengejar uang untuk pribadi, bukan untuk mengejar kesetaraan kesejahteraan antar manusia yang harapan saya tidak ada kesenjangan sosial yang gapnya sangat tinggi. Ya, anak dididik untuk mendapat nilai, no matter what proses yang harus dikejar, no matter what hasilnya nanti apakah akan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara pribadi maupun untuk sosial.
Anak yang seyogyanya dididik untuk jadi manusia, ujung-ujungnya malah dididik seperti mesin. Lulus harus cepat dengan masa sekian tahun, mencari pekerjaan dengan gaji sekian juta karena investasi biaya pendidikan yang sekian juta. Belum lagi kalo selama masa studi kalo bisa sambil kerja untuk ngepress biaya pendidikan. Ibarat mesin, kalo bahan bakar bisa lebih murah tentu akan lebih menguntungkan dong. Efek lain yang ditimbulkan adalah tuntutan yang kadang ngga irasional bagi anak menjadi penyebab stress dan tekanan bagi anak. Saya pun mengalaminya. Ada beban tersendiri bahwa di usia sekian sekian harus punya A, B, C sesuai pada standar yang entah tiba-tiba ditentukan oleh masyarakat. Jika tidak tercapai, tekanan akan dialami oleh orang tua dan anak karena tidak mampu meraih standar yang ditentukan masyarakat itu.
Di era jaman now yang apa-apa dikonversikan ke uang, saya jadi punya pandangan yang berbeda bahwa anak berhak memperoleh kebahagiaan dengan cara masing-masing. Anak berhak mencapai apa yang diimpikan terlepas apakah impiannya itu merupakan lahan uang ataupun bukan. Saya lebih senang dengan pendidikan yang ditanamkan kepada anak agar bisa jadi manusia yang memanusiakan orang lain tanpa memandang atau mengkonversikan apapun menjadi uang. Sibuk karena uang bukan jaminan ketika memilikinya lalu kemudian bahagia. Sibuk karena mengejar yang disebut dengan standard kebahagiaan masyarakat pun tidak selamanya menjamin kebahagiaan karena standar kebahagiaan tiap person pasti berbeda tergantung dari setinggi apa level person tersebut memaknai syukur dalam kehidupannya. Semoga saya segera dapet kesempatan survey ke sekolah yang basis pendidikannya dapat memenuhi kebutuhan saya ke depan dengan biaya yang manusiawi pula.
PS : Curhatan anak gadis 25 tahun