Pesan Untuk Bapak

Desember 12, 2017

Beberapa waktu yang lalu saya sedang senang-senangnya mengikuti kampanye #16daysofactivism yang digagas United Nations lewat tokoh-tokoh kenamaan di berbagai negara. Kalau di Indonesia, Hannah Al Rashid dipilih untuk mengkampanyekan isu kesetaraan gender dan anti kekerasan pada wanita. Komika Ernest Prakarsa dan istrinya, Meira Anastasia diajak oleh Hannah untuk berpartisipasi dengan memberikan gambaran tentang perspektif kesetaraan gender dalam mendidik anak.

Di video itu Meira bilang kalau kekerasan dalam bentuk apapun baik itu fisik maupun verbal kalau di-trace balik pasti berawal dari kebiasaan-kebiasaan yang ada di keluarga. Apa yang ada di keluarga akan direfleksikan ke lingkungan ketika anak dewasa tanpa disadari. Kalau memang mau menciptakan generasi yang unggul ga sekedar dari pendidikan di luar keluarga tapi justru diawali dari keluarga. Caranya dengan mengajarkan anak laki-laki menghargai anak perempuan, serta menanamkan anak perempuan berhak mendapatkan akses yang setara dengan anak laki-laki supaya mereka percaya diri.

Laki-laki secara patriarki memang diajarkan untuk jadi super di keluarga baik itu secara fisik maupun secara mental. Kekeliruan yang diwariskan dari generasi ke generasi adalah bahwa laki-laki itu harus unggul dalam mengambil keputusan, kuat secara kekuasaan di dalam keluarga, lebih superior dibanding wanita di dalam keluarga. Bahkan, secara ga disadari kadang hal-hal itu bisa berlebih dan ga seimbang.

Kekerasan juga saya alami sejak kecil oleh Bapak sendiri. Berkaitan dengan kesetaraan gender itu, saya tidak pernah merasakan ada kesetaraan yang imbang di keluarga. Kalau Mamak Meira bilang kekerasan di luar selalu diawali dari kekerasan di dalam rumah tangga. It truly happens. Akibat yang ditimbulkan sangat beragam dan ya jujur saja Mamak Meira betul bahwa kekerasan menimbulkan efek domino ke berbagai aspek kehidupan.

Sejak kecil, Bapak superior dalam mengatur keluarga. Di mata beliau, segala keputusan yang beliau ambil itu selalu benar dan terbaik tanpa melibatkan pendapat dari anak-anaknya. Ibu, sebagai wanita tentu ditakdirkan untuk mengikuti jejak suami sebagai imamnya. Perkara benar atau salah, itu urusan belakang. Berhubung Bapak adalah 'imam', ya beliau lah pengambil keputusan tanpa mempertimbangkan secara jauh dampak positif dan negatif yang ditimbulkan.

Bapak saya gila materi dan gila judi sejak muda. Kebiasaan ini tidak pernah berubah bahkan sampai setelah menikah dan punya anak bahkan hingga 2 tahun sebelum ajal menjemput. Karena Bapak terlalu superior, bagi dia harta yang sudah didapatkannya dari bekerja, dia berhak untuk memakai sesuka hati. Beruntungnya Ibu saya pun bekerja. Gaji Ibu saya habis hanya untuk membayar hutang hasil judi ayah saya. Gaji Ibu saya harus dibagi-bagi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan 2 anaknya dan Ibu saya dengan relanya menyisihkan tabungan untuk Bapak saya lanjut sekolah lagi. Upaya Ibu untuk membagi-bagi sesuai kebutuhan ini bahkan terjadi hingga saya kuliah. Dua puluh tahun hal ini terjadi.

Hingga kini saya meneladani Ibu saya untuk bekerja karena kekhawatiran saya terlalu besar jika di kemudian hari saya mendapat jodoh seperti itu. Pernah ingat kan pepatah bilang bahwa anak perempuan akan jatuh hati pada laki-laki yang setidaknya sama dengan bapaknya. Saya terlalu percaya dengan pepatah itu. Sampai suatu hari saya cerita ke mantan ketua project saya bahwa saya sedang ingin menabung untuk biaya menikah. Beliau bilang wanita tidak perlu menabung. Biar laki-laki yang menjadikan hal itu sebagai tanggungjawabnya. Beda keluarga, beda pendidikan. Beda keluarga, beda sosok yang jadi teladan. Mungkin bagi beliau itu nilai yang dianutnya. Tapi saya ngga bisa menganut nilai itu dengan pengalaman yang saya terima sejak kecil. Saya kurang percaya pada laki-laki bisa bertanggungjawab seperti halnya saya ngga bisa percaya dengan Bapak saya. Saya takut jatuh hati pada laki-laki yang sama dengan Bapak saya. Itulah mengapa saya berusaha untuk berdiri sendiri tanpa harus bergantung pada laki-laki karena saking kecewanya dengan Bapak saya.

Bapak ngga pernah mendidik anak di rumah. Berhubung Bapak saya ngga disiplin pada dirinya sendiri, ngga ada yang dijadikan teladan di keluarga kami. Bapak ngga pernah menghargai usaha Ibu dalam memasak. Bapak lebih memilih makan di warung tempat ia judi. Hal ini bisa ngajarin anak di kemudian hari untuk ga ngehargain usaha2 orang di sekitar kan. Kalau dalam usaha teamwork, ini bisa ga baik buat anggota tim. Sebagai anggota tim harus bisa saling menghargai anggota tim yang lain agar harmonis. Sebagai anggota tim, kita ga boleh fokus pada kesalahan atau kekurangan tim. Tapi kita harus fokus mencari solusi dari masalah atau ketidaknyamanan yang ada.

Nilai ini justru ga pernah saya dapet di dalam keluarga. Justru saya dapetin nilai-nilai ini ketika kerja di tim yang ketuanya adalah wanita. She is really my role model. Asistennya adalah laki-laki yang bagi saya juga role model karena ga pernah merasa superior untuk mengatur bawahan-bawahannya. Beliau selalu mendengar keluhan dan solutif bagi bawahan-bawahannya. Pahitnya, hal-hal positif ini sulit saya terapkan di hubungan personal dengan pasangan saking saya trauma dan takut memiliki hubungan personal dengan orang yang salah atau seenggaknya karena dia ga jauh berbeda dengan Bapak saya.

Saking saya merasa tertekan memiliki Bapak yang ngga bertanggungjawab, sejak remaja saya tumbuh jadi pribadi yang overthink terutama pada masa depan. Aspek finansial, personal sangat saya khawatirkan. Sejak SMA, saya terlalu berusaha keras bisa unggul di akademik dengan tujuan agar kelak bisa kuliah di perguruan tinggi yang baik, kemudian lulus bisa bekerja untuk melunasi kepedihan Ibu atas perlakuan Bapak. Tapi, saya ngga bisa melakoni dengan santai like live present, not future.

Kemudian saya berhasil masuk ke perguruan tinggi yang katanya diidamkan banyak orang. Saya minta ke Bapak saya untuk membayarkan uang SPP saya ke depan sebagai bentuk tanggung jawabnya. Di tengah jalan, saya kecewa karena lagi-lagi bukan Bapak yang bertanggungjawab atas anaknya, melainkan Ibu. Bapak tetap melanggengkan judinya. Saya kecewa bukan main. Saya ga pernah enjoy menikmati masa kuliah. Semasa kuliah, saya cuma bisa aktif belajar, praktikum demi nilai bagus supaya saya segera dapat beasiswa dan tidak merepotkan Ibu. Di waktu senggang saya memberi kursus anak SD semampu saya untuk menambah uang saku. Saya ga punya banyak temen deket saking fokus dengan kekurangan saya itu hingga akhirnya saya beruntung bisa dapat beasiswa di hampir 3 tahun masa kuliah.

Sempet pacaran buat menikmati masa muda? Jawabnya tidak sama sekali. Saya terlalu overthink pada kemampuan saya untuk bisa membahagiakan Ibu. Saya pun jadi sulit percaya pada laki-laki saking traumanya dengan Bapak. Saya sulit percaya pada laki-laki untuk bisa komitmen, memegang teguh janjinya, bertanggungjawab pada perempuannya. Saya overthink kemudian melampiaskan ke kesibukan kuliah, praktikum, asisten praktikum kala itu. Hal ini ternyata selalu berulang-ulang.

Bahkan hingga sekarang, ketika saya overthink untuk urusan finansial, saya bisa dengan mudah tenggelam dalam kesibukan bekerja. Ketika saya overthink pada laki-laki, saya memilih untuk pergi dengan teman yang notabene mereka tidak pernah saya harapkan selalu adadi hidup saya. Ya, ketika teman ngga pernah memprioritaskan saya, maka saya cari teman yang lain. Semudah itu untuk mengalihkan perhatian saya tentang khawatir pada jodoh. Khawatir saya selalu kecewa seperti halnya saya menghadapi Bapak saya. Ketika saya overthink pada apapun, saya akan memilih tinggal di kos, merenung, diam, mengasingkan diri di kala weekend. Untuk hal-hal ini saya tidak pernah terbuka dengan siapapun. Bagi saya, luka saya hanya saya yang boleh menikmati, ngga pantas saya bagi dengan pasangan yang ga tau apa-apa sebelumnya.

Sampai sekarang saya sulit untuk terbuka pada laki-laki. Karena sejak kecil saya tidak terbiasa berinteraksi dengan Bapak saya. Saya terlalu terbiasa mengandalkan diri saya sendiri. Bapak saya terlalu biasa untuk tidak mempedulikan saya sehingga saya terkesan ngga butuh perhatian dari laki-laki. Kalau teman-teman saya bilang saya seperti ngga butuh laki-laki, itu karena latar belakang saya ngga pernah percaya dengan Bapak saya. Mau laki-laki itu sebaik apapun tetaplah manusia yang punya salah, bagi saya mereka salah sedikit pun langsung membuat saya flashback ke masa lalu, overthink, lalu menghindar dari laki-laki. Mau sebertanggungjawab dan sesabar apapun, laki-laki pasti ngga mau diperlakukan begitu kan.

Saya sepenuhnya salah karena mindset seperti itu akan sangat ngga baik bagi diri saya secara mental dan kesehatan fisik. Saya harus mau berubah, belajar menerima masa lalu, belajar memaafkan Bapak, belajar melupakan kekhawatiran saya atas masa depan, belajar sedikit demi sedikit berbagi beban dengan siapapun. Mungkin prosesnya butuh waktu, tapi saya harap saya bisa sembuh dalam waktu yang cepat.

Pesan saya bagi bapak bapak di luar sana. Harapan anak perempuan terhadap bapaknya adalah awal dari dia bisa berharap pada dunia, pada pasangannya kelak. Bapak boleh menjadi tidak sempurna karena kita manusia biasa, tapi sebagai bapak, cobalah penuhi harapan anak di luar dari sekedar memenuhi secara materi semampunya. Berusahalah dekat dengan anak karena itu modal bagi anak menghadapi dunianya nanti. Dekat dengan anak karena itu modal Anda didoakan dalam tiap sujudnya. Berlaku baik pada istri adalah modal Anda mengajarkan pada anak untuk dapat memperlakukan orang lain, bekerjasama di masa depannya, punya relasi personal yang baik di masa depannya. Mendidik anak berkarakter bukan tanggung jawab guru di sekolah Pak, ini tanggung jawab Anda dan istri yang harus dipikul bersama.

Bagi teman-teman yang overthink, anxiety disorder, kalian ngga sendiri. Di luar ada banyak survivor yang berusaha untuk  sembuh. Mari memaafkan masa lalu bersama demi masa depan yang lebih baik. We stand together. :) Hugs.

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook