Enough is Enough 1 : Hunian

Juli 14, 2018

Akhir-akhir ini saya menyaksikan orang-orang di sekitar saya yang mati-matian memperjuangkan hak kepemilikan fasilitas kesenangan hidup. Fasilitas rumah mewah, biaya pendidikan anak yang mahal, mobil keluaran terbaru, gadget keluaran terbaru, motor keluaran terbaru, apa lagi? Saya juga menyaksikan generasi millennial punya standar kebahagiaan atas kepemilikan fasilitas kesenangan hidup antara lain pekerjaan yang mapan, fleksibel, income besar, bisa beli rumah meski kredit, bisa beli mobil untuk sekedar pergi nonton. Entah siapapun itu berangkat dari profesi apapun, income berapapun punya kesamaan standar obyek yang harus dipenuhi.

Dua puluh tahun yang lalu ketika usia saya masih 6 tahun, guru SD mengajarkan bahwa
1. Kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang murni dibutuhkan, sehingga ketika tidak memilikinya maka tidak dapat hidup sebagaimana mestinya yakni pakaian, rumah, dan makanan.
2. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan penunjang kehidupan yang mana tidak dipenuhi maka tidak membuat orang langsung mati seketika, tapi bisa jadi pekerjaan terhambat contoh sepeda, telepon.
3. Kebutuhan Tersier adalah kebutuhan mewah yang mana tanpa dipenuhi pun pekerjaan dan kehidupan sehari-hari tetap berlangsung lancar contohnya sepeda motor, mobil, perhiasan, televisi, VCD Player.

Bagaimana dengan cara pikir anak SD pada tahun 2018 ini? Mari kita bandingkan.
1. Kebutuhan pokok adalah kebutuhan utama yang harus dipenuhi untuk membuat kita bahagia contoh : makanan enak, pakaian baru setiap bulan/setiap ada pergantian mode, rumah tembok minimal tipe 36, gadget baru untuk main tiktok, motor untuk berangkat kerja, mobil untuk travelling dengan keluarga setiap weekend, setahun sekali travelling ke luar kota/luar negeri, dkk.
2. Kebutuhan sekunder : -
3. Kebutuhan Tersier : -

Salah satu teman saya seorang MT bank BUMN di Jakarta pernah mengeluhkan kebiasaan orang Indonesia yang terlalu mudah mengajukan kredit kepemilikan mobil ke bank begitupula kredit rumah tanpa mempertimbangkan efek samping yang timbul setelah itu. Dia memaparkan cara pikir orang yang sudah berpenghasilan harus memiliki rumah sendiri untuk mempersiapkan fase hidup selanjutnya yaitu berumah tangga. Rumah murah selalu berada jauh dari pusat keramaian kota yang mana disesuaikan dengan portofolio keuangan mereka. Efek samping yang timbul adalah akibat dari lokasi kantor yang sangat jauh, diperlukan kendaraan sendiri untuk bisa menjangkau kantor kemudian implikasinya mengajukan kredit mobil yang sesuai dengan portofolio keuangan. Sudah ada pengajuan 2 kredit dalam 1 rumah tangga. Hal ini masih belum terakomodir jika ternyata pasangan bekerja di kantor yang berbeda jalan sehingga dibutuhkan kredit mobil lagi alhasil ada 3 kredit yang diajukan oleh 1 rumah tangga.

Teman saya, sebut saja Isti bercerita bahwa implikasi dari pola tersebut mengakibatkan penumpukan kendaraan di jalan yang volumenya sudah tidak mampu diperbesar. Alhasil macet dimana-mana, tentu akibatnya adalah inefisiensi transportasi yang mitosnya diharapkan dapat mempermudah manusia. Manusia yang kredit-kredit sendiri dengan harapan mempermudah dirinya sendiri tapi secara akumulasi justru membuat masalah berjamaah yakni macet berjamaah, polusi berjamaah, hingga akhirnya sakit berjamaah karena akumulasi stress di hari tua.

Kemudian soal rumah juga berlaku hal yang sama. Ketika lokasi rumah jauh dari kantor, otomatis membuat jangka waktu yang dihabiskan di perjalanan makin lama, kemudian waktu yang dihabiskan di rumah makin singkat. Berangkat pagi buta, pulang petang kemudian waktu untuk anak-anak makin sempit sehingga butuh 'balas dendam' di akhir minggu untuk membayar rasa bersalah atas minimnya waktu untuk anak-anak. Cost yang dibayar untuk perjalanan pulang, masih harus ditambah lagi dengan cost akhir minggu (itu kalo perhitungan banget).

Isti menambahkan bahwa, masalah tidak berhenti di sini saja. Kita tidak bisa memprediksi keadaan ekonomi di Indonesia ke depan akan seperti apa. Ketika kondisi ekonomi tidak stabil, bisa dimungkinkan kredit akan macet, orang berbondong-bondong melepas aset yang sudah terlanjur diambil kreditnya tersebut dikala ekonomi sulit.

Saya tidak bisa membayangkan ketika itu harus terjadi di ibukota provinsi yang lain, Bandung, Semarang, Surabaya, bahkan Jogjakarta yang katanya Kota Berhati Nyaman. Sudah terlihat efek samping dari pola yang selama ini dilakoni di Kota Jakarta, tapi tetap saja terjadi di kota lain, bukannya justru dijadikan sebagai pembelajaran bersama.

Partner Nulis : Lintang Aulia Putri
Yogyakarta, 14 Juli 2018
Nulis sambil ngelamun

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook